Peraturan dan Regulasi
UU No.19 tentang Hak Cipta
Berdasarkan UU RI no 19 tahun 2002
Bab 1 mengenai Ketentuan Umum, pasal 1
- Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama -sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
- Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.
- Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
- Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya, dan bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya siarannya
- Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak Ciptaannya atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.
Ketentuan Umum
Pada dasarnya, hak cipta merupakan “hak untuk menyalin suatu
ciptaan”. Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk
membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak
cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya
cipta atau “ciptaan”. Ciptaan tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta karya
tulis lainnya, film, karya-karya koreografis (tari, balet, dan sebagainya),
komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak
komputer, siaran radio dan televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain
industri. Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual,
namun hak cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya
(seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena
hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak
untuk mencegah orang lain yang melakukannya.
Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang
Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002.
Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah “hak eksklusif bagi
pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku” (pasal 1 butir 1).
Lingkup Hak cipta
Lingkup hak cipta diatur didalam bab 2 mengenai LINGKUP HAK
CIPTA pasal 2-28 :
· Ciptaan
yang dilindungi (pasal 12), Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang
ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: buku, Program Komputer,
pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil
karya tulis lain, ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan
itu, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan,
lagu atau musik dengan atau tanpa teks, drama atau drama musikal, tari,
koreografi, pewayangan, dan pantomim, seni rupa dalam segala bentuk seperti
seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase,
dan seni terapan, arsitektur, peta, seni batik, fotografi, sinematografi,
terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil
pengalihwujudan.
· Ciptaan
yang tidak ada Hak Cipta (pasal 13), hasil rapat terbuka lembaga-lembaga
Negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat
Pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim atau keputusan badan
arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.
Hak-hak yang tercakup dalam hak cipta
Hak eksklusif
Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada
pemegang hak cipta adalah hak untuk :
- Membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
- Mengimpor dan mengekspor ciptaan,
- Menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
- Menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
- Menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
Yang dimaksud dengan “hak eksklusif” dalam hal ini adalah
bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut,
sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa
persetujuan pemegang hak cipta.
Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk
“kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan,
menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada
publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik
melalui sarana apapun”.
Selain itu, dalam hukum yang berlaku di Indonesia diatur
pula “hak terkait”, yang berkaitan dengan hak cipta dan juga merupakan hak
eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku karya seni (yaitu pemusik, aktor, penari,
dan sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran untuk mengatur
pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan, direkam, atau
disiarkan oleh mereka masing-masing (UU 19/2002 pasal 1 butir 9–12 dan bab VII).
Sebagai contoh, seorang penyanyi berhak melarang pihak lain memperbanyak
rekaman suara nyanyiannya.
Hak-hak eksklusif yang tercakup dalam hak cipta tersebut
dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan atau perjanjian tertulis (UU 19/2002
pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta dapat pula mengizinkan pihak lain melakukan
hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi, dengan persyaratan tertentu (UU
19/2002 bab V).
Perlindungan Hak Cipta
Perlindungan hak cipta pada umumnya berarti bahwa penggunaan
atau pemakaian dari hasil karya tertentu hanya dapat dilakukan dengan ijin dari
pemilik hak tersebut. Yang dimaksud menggunakan atau memakai di sini adalah
mengumumkan, memperbanyak ciptaan atau memberikan ijin untuk itu.
Pasal 12 ayat 1 :
(1)Dalam Undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah
ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang mencakup :
a. buku, program komputer, pamflet,
perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis
lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis
dengan itu ;
dengan itu ;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan
ilmu pengetahuan;
ilmu pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan
dan pantomim;
dan pantomim;
f. seni rupa dalam segala bentuk
seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung,
kolase, dan seni terapan;
g. arsitektur;
h. peta;
i. seni batik;
j. fotografi;
k. sinematografi;
l. terjemahn, tafsir, saduran, bunga
rampai, data base, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi
sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.”
Menurut Pasal 1 ayat 8 :
Program komputer adalah sekumpulan instruksi yang diwujudkan
dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan
dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer
bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang
khusus, termasuk penyiapan dalam merancang instruksi-instruksi tersebut.
Dan Pasal 2 ayat 2:
Pencipta dan /atau Pemegang Hak Cipta atas karya
sinematografi dan program computer (software) memberikan izin atau melarng
orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk
kepentingan yang bersifat komersial.
Pembatasan Hak Cipta
Pembatasan Hak cipta, Pembatasan mengenai hak cipta diatur
dalam pasal 14, 15, 16 (ayat 1-6), 17, dan 18. Pemakaian ciptaan tidak
dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut atau
dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang
bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan dalam
lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan,
dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya.
Kepentingan yang wajar dalam hal ini adalah “kepentingan yang didasarkan pada
keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan”. Termasuk
dalam pengertian ini adalah pengambilan ciptaan untuk pertunjukan atau
pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk pengutipan karya tulis,
penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara
lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya nama pencipta, judul
atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu, seorang pemilik
(bukan pemegang hak cipta) program komputer dibolehkan membuat salinan atas
program komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk
digunakan sendiri.
Selain itu, Undang-undang Hak Cipta juga mengatur hak
pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan atau mewajibkan pihak tertentu
memperbanyak ciptaan berhak cipta demi kepentingan umum atau kepentingan
nasional (pasal 16 dan 18), ataupun melarang penyebaran ciptaan “yang apabila
diumumkan dapat merendahkan nilai-nilai keagamaan, ataupun menimbulkan masalah
kesukuan atau ras, dapat menimbulkan gangguan atau bahaya terhadap pertahanan
keamanan negara, bertentangan dengan norma kesusilaan umum yang berlaku dalam masyarakat,
dan ketertiban umum” (pasal 17). Ketika orang mengambil hak cipta seseorang
maka orang tersebut akan mendapat hukuman yang sesuai pada kejahatan yang
dilakukan. Menurut UU No.19 Tahun 2002 pasal 13, tidak ada hak cipta atas
hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara, peraturan perundang-undangan,
pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau
penetapan hakim, ataupun keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan
sejenis lainnya (misalnya keputusan-keputusan yang memutuskan suatu
sengketa). Pasal 14 Undang-undang Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan atau
perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli
tidaklah melanggar hak cipta. Demikian pula halnya dengan pengambilan berita
aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran,
dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus
disebutkan secara lengkap.
Prosedur Pendaftaran HaKI
Sesuai yang diatur pada bab IV Undang-undang Hak Cipta pasal
35, pendaftaran hak cipta diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual (Ditjen HKI), yang kini berada di bawah [Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia]. Pencipta atau pemilik hak cipta dapat mendaftarkan langsung
ciptaannya maupun melalui konsultan HKI. Permohonan pendaftaran hak cipta
dikenakan biaya (UU 19/2002 pasal 37 ayat 2). Penjelasan prosedur dan formulir
pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di kantor maupun situs webDitjen HKI.
"Daftar Umum Ciptaan" yang mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar
dikelola oleh Ditjen HKI dandapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai
biaya. Prosedur mengenai pendaftaran HAKI diatur dalam bab 4, pasal 35-44.
*************************************************************************
UU No.36 tentang Telekomunikasi
Azas dan Tujuan Telekomunikasi
Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas
manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika dan
kepercayaan pada diri sendiri. Dalam menyelenggarakan telekomunikasi
memperhatikan dengan sungguh-sungguh asas pembangunan nasional dengan
mengutamakan asas manfaat, asas adil, dan merata, asas kepastian hukum, dan
asas kepercayaan pada diri sendiri, serta memprhatikan pula asas keamanan,
kemitraan, dan etika. Asas manfaat berarti bahwa pembangunan telekomunikasi
khususnya penyelenggaraan telekomunikasi akan lebih berdaya guna dan berhasil
guna baik sebagai infrastruktur pembangunan, sarana penyelenggaraan
pemerintahan, sarana pendidikan, sarana perhubungan maupun sebagai komoditas
ekonomi yang dapat lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin.
Asas adil dan merata adalah bahwa penyelenggaraan telekomunikasi memberikan
kesempatan dan perlakuan yang sama kepada semua pihak yang memenuhi syarat dan
hasil- hasilnya dinikmati oleh masyarakat secara adil dan merata.
Asas kepastian hukum berarti bahwa pembangunan
telekomunikasi khususnya penyelenggaraan telekomunikasi harus didasarkan kepada
peraturan perundang-undangan yang menjami kepastian hukum dan memberikan
perlindungan hukum baik bagi para investor, penyelenggara telekomunikasi,
maupun kepada pengguna telekomunikasi.
Asas kepercayaan pada diri sendiri, dilaksanakan
dengan memanfaatkan secara maksimal potensi sumber daya nasional secara efisien
serta penguasaan teknologi telekomunikasi, sehingga dapat meningkatkan
kemandirian dan mengurangi ketergantungan sebagai suatu bangsa dalam menghadapi
persaingan global.
Asas kemitraan mengandung makna bahwa
penyelenggaraan telekomunikasi harus dapat mengembangkan iklim yang harmonis,
timbal balik, dan sinergi, dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Asas keamanan
dimaksudkan agar penyelenggaraan telekomunikasi selalu memperhatikan faktor
keamanan dalam perencanaan, pembangunan, dan pengoperasiannya. Asas etika
dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan telekomunikasi senantiasa dilandasi oleh
semangat profesionalisme, kejujuran, kesusilaan, dan keterbukaan.
Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk
mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan
kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa. Tujuan
penyelenggaraan telekomunikasi yang demikian dapat dicapai, antara lain,
melalui reformasi telekomunikasi untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan
telekomunikasi dalam rangka menghadapi globalisasi, mempersiapkan sektor
telekomunikasi memasuki persaingan usaha yang sehat dan profesional dengan
regulasi yang transparan, serta membuka lebih banyak kesempatan berusaha bagi
pengusaha kecil dan menengah.
Didalam UU no.36 th.1999 terdapat pasal yang menyebutkan
tentang azas dan tujuan yaitu terdapat pada
Pasal 2:
“Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat,
adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan
pada diri sendiri”
Pasal 3:
“Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk
mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan
kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.”
Penyelenggaraan Telekomunikasi
Dalam rangka efektivitas pembinaan, pemerintah melakukan
koordinasi dengan instansi terkait, penyelenggara telekomunikasi, dan
mengikutsertakan peran masyarakat. Dalam posisi yang demikian, pelaksanaan
pembinaan telekomunikasi yang dilakukan Pemerintah melibatkan peran serta
masyarakat, berupa penyampaian pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam
masyarakat mengenai arah pengembangan pertelekomunikasian dalam rangka
penetapan kebijakan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan di bidang
telekomunikasi. Pelaksanaan peran serta masyarakat diselenggarakan oleh lembaga
mandiri yang dibentuk untuk maksud tersebut. Lembaga seperti ini keanggotaannya
terdiri dari asosiasi yang bergerak di bidang usaha telekomunikasi, asosiasi
profesi telekomunikasi, asosiasi produsen peralatan telekomunikasi, asosiasi
pengguna jaringan, dan jasa telekomunikasi serta masyarakat intelektual di
bidang telekomunikasi. Ketentuan mengenai tata cara peran serta masyarakat dan
pembentukan lembaga masih akan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Setelah mengetahui pasal yang menyebutkan azas dan tujuan di
UU no.36 th.1999 disebutkan juga tentang penyelenggaraan telekomunikasi yaitu:
Pasal 7:
Ayat1: “Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi :
a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggaraaan jasa telekomunikasi;
c. penyelenggaraan telekomunikasi khusus.”
Dari pasal 7 juga disebutkan dalam ayat 2:”hal-hal yang diperhatikan dalam penyelenggaraan telekomunikasi sebagai berikut :
a. melindungi kepentingan dan keamanan negara;
b. mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global;
c. dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
d. peran serta masyarakat.”
Jadi dalam penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku yang dijelaskan pada pasal 8 ayat 1 dan 2:
Ayat 1: “Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b, dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, yaitu :
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c. badan usaha swasta; atau
d. koperasi;”
Pasal 7:
Ayat1: “Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi :
a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggaraaan jasa telekomunikasi;
c. penyelenggaraan telekomunikasi khusus.”
Dari pasal 7 juga disebutkan dalam ayat 2:”hal-hal yang diperhatikan dalam penyelenggaraan telekomunikasi sebagai berikut :
a. melindungi kepentingan dan keamanan negara;
b. mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global;
c. dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
d. peran serta masyarakat.”
Jadi dalam penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku yang dijelaskan pada pasal 8 ayat 1 dan 2:
Ayat 1: “Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b, dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, yaitu :
a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
c. badan usaha swasta; atau
d. koperasi;”
Ayat 2: “Penyelenggaraan Telekomunikasi khusus sebagaimana
dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf c, dapat dilakukan oleh :
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah ;
c. badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi
dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi;”
Penyidikan, Sanksi Administratif dan Ketentuan Pidana
Ada dua belas ketentuan dalam undang-undang ini yang dapat
dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin, yang dilakukan
setelah diberi peringatan tertulis. Pengenaan sanksi adminsitrasi
dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai upaya pemerintah dalam rangka
pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi. Keduabelas alasan
yang dapat dikenai sanksi administratif itu adalah terhadap:
- Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi yang tidak memberikan kontribusi dalam pelayanan;
- Penyelenggara telekomunikasi tidak memberikan catatan atau rekaman yang diperlukan pengguna;
- Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang tidak menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunkasi;
- Penyelenggara telekomunikasi yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum;
- Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang tidak menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya;
- Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi yang tidak membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosesntase pendapatan;
- Penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan sendiri dan keperluan pertahanan keamanan negara yang menyambungkan telekomunikasinya ke jaringan penyelenggara telekomunikasi lainnya;
- Penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran yang menyambungkan telekomunikasinya ke penyelenggara telekomunikasi lainnya tetapi tidak digunakan untuk keperluan penyiaran;
- Pengguna spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang tidak mendapat izin dari Pemerintah;
- Pengguna spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan yang saling menggaggu.
- Pengguna spektrum frekuensi radio yang tidak membayar biaya penggunaan frekuensi, yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita frekuensi;
Pengguna orbit satelit yang tidak membayar biaya hak
penggunaan orbit satelit.
Dalam UU no.36 th.1999 juga terdapat pasal yang menyangkut
tentang penyidikan yaitu terdapat pada pasal 44 ayat 1 dan ayat 2.
Ayat 1:” Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.”
Ayat 2:” Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a. melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak
pidana di bidang telekomunikasi;
b. melakukan pemeriksaan
terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di
bidang telekomuniksi.
c. menghentikan
penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari
ketentuan yang berlaku;
d. memanggil orang untuk
didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
e. melakukan
pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau
diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
f. menggeledah
tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
g. menyegel dan
atau menyita alat dan atau perangkat telekomuniksi yang digunakan atau diduga
berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
h. meminta bantuan ahli
dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
telekomunikasi; dan
i. mengadakan
penghentian penyidikan.”
Selain Undang-undang Hukum acara pidana di UU no.36 th.1999
juga disebutkan pasal yang mengenai sanksi-sanksinya yaitu pasal 45 dan pasal
46. Untuk ketentuan Pidana disebutkan pada pasal 47 sampai pasal 59.
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Rangkuman singkat dari UU ITE adalah sebagai berikut:
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Rangkuman singkat dari UU ITE adalah sebagai berikut:
1. Tanda tangan
elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional
(tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines
(pengakuan tanda tangan digital lintas batas).
2. Alat bukti elektronik
diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP.
3. UU ITE berlaku untuk
setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah
Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
4. Pengaturan Nama domain
dan Hak Kekayaan Intelektual.
5. Perbuatan yang
dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
• Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
• Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
• Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian
dan Permusuhan)
• Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Teror)
• Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
• Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
• Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi
Rahasia)
• Pasal 33 (Virus, DoS)
• Pasal 35 (Pemalsuan Dokumen Otentik / phishing)
*****************************************************************************
RUU tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE)
peraturan lain yg terkait (peraturan bank indonesia ttg internet banking )
Internet banking bukan merupakan istilah yang asing lagi
bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi yang tinggal di wilayah perkotaan. Hal
tersebut dikarenakan semakin banyaknya perbankan nasional yang menyelenggarakan
layanan tersebut.
Penyelenggaraan internet banking yang sangat dipengaruhi
oleh perkembangan teknologi informasi, dalam kenyataannya pada satu sisi
membuat jalannya transaksi perbankan menjadi lebih mudah, akan tetapi di sisi
lain membuatnya semakin berisiko. Dengan kenyataan seperti ini, keamanan
menjadi faktor yang paling perlu diperhatikan. Bahkan mungkin faktor keamanan
ini dapat menjadi salah satu fitur unggulan yang dapat ditonjolkan oleh pihak
bank.
Salah satu risiko yang terkait dengan penyelenggaraan
kegiatan internet banking adalah internet fraud atau penipuan melalui internet.
Dalam internet fraud ini menjadikan pihak bank atau nasabah sebagai korban,
yang dapat terjadi karena maksud jahat seseorang yang memiliki kemampuan dalam
bidang teknologi informasi, atau seseorang yang memanfaatkan kelengahan pihak
bank maupun pihak nasabah.
Oleh karena itu perbankan perlu meningkatkan keamanan
internet banking antara lain melalui standarisasi pembuatan aplikasi internet
banking, adanya panduan bila terjadi fraud dalam internet banking dan pemberian
informasi yang jelas kepada user.
Peranan Bank Indonesia dalam Pencegahan Internet Fraud
Salah satu tugas pokok Bank Indonesia sebagaimana
diamanatkan dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 adalah mengatur dan mengawasi bank. Dalam
rangka pelaksanaan tugas tersebut Bank Indonesia diberikan kewenangan sbb:
- Menetapkan peraturan perbankan termasuk ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip-prinsip kehati-hatian.
- Memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank.
- Melaksanakan pengawasan bank secara langsung dan tidak langsung.
- Mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pelaksanaan kewenangan tugas-tugas tersebut di atas
ditetapkan secara lebih rinci dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Terkait dengan tugas Bank Indonesia mengatur dan mengawasi
bank, salah satu upaya untuk meminimalisasi internet fraud yang dilakukan oleh
Bank Indonesia adalah melalui pendekatan aspek regulasi. Sehubungan dengan hal
tersebut, Bank Indonesia telah mengeluarkan serangkaian Peraturan Bank
Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia yang harus dipatuhi oleh dunia
perbankan antara lain mengenai penerapan manajemen risiko dalam penyelenggaraan
kegiatan internet banking dan penerapan prinsip Know Your Customer (KYC).
1. Manajemen risiko dalam penyelenggaraan kegiatan
internet banking
Peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia terkait
dengan pengelolaan atau manajemen risiko penyelenggaraan kegiatan internet
banking adalah Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 6/18/DPNP,
tanggal 20 April 2004 tentang Penerapan Manajemen Risiko Pada Aktivitas
Pelayanan Jasa Bank Melalui Internet (Internet Banking). Pokok-pokok
pengaturannya antara lain sbb:
a. Bank yang menyelenggarakan kegiatan internet banking
wajib menerapkan manajemen risiko pada aktivitas internet banking secara
efektif.
b. Penerapan manajemen risiko tersebut wajib dituangkan
dalam suatu kebijakan, prosedur dan pedoman tertulis dengan mengacu pada
Pedoman Penerapan Manajemen Risiko pada Aktivitas Pelayanan Jasa Bank Melalui
Internet (Internet Banking), yang ditetapkan dalam lampiran dalam Surat Edaran
Bank Indonesia tersebut.
c. Pokok-pokok penerapan manajemen risiko bagi bank yang
menyelenggarakan kegiatan internet banking adalah:
2. Adanya pengawasan aktif komisaris dan direksi bank,
yang meliputi:
a) Komisaris dan direksi harus melakukan pengawasan yang
efektif terhadap risiko yang terkait dengan aktivitas internet banking,
termasuk penetapan akuntabilitas, kebijakan dan proses pengendalian untuk
mengelola risiko tersebut.
b) Direksi harus menyetujui dan melakukan kaji ulang
terhadap aspek utama dari prosedur pengendalian pengamanan bank.
3. Pengendalian pengamanan (security control)
a) Bank harus melakukan langkah-langkah yang memadai untuk
menguji keaslian (otentikasi) identitas dan otorisasi terhadap nasabah yang
melakukan transaksi melalui internet banking.
b) Bank harus menggunakan metode pengujian keaslian
transaksi untuk menjamin bahwa transaksi tidak dapat diingkari oleh nasabah
(non repudiation) dan menetapkan tanggung jawab dalam transaksi internet
banking.
c) Bank harus memastikan adanya pemisahan tugas dalam sistem
internet banking, database dan aplikasi lainnya.
d) Bank harus memastikan adanya pengendalian terhadap
otorisasi dan hak akses (privileges) yang tepat terhadap sistem internet
banking, database dan aplikasi lainnya.
e) Bank harus memastikan tersedianya prosedur yang memadai
untuk melindungi integritas data, catatan/arsip dan informasi pada transaksi
internet banking.
f) Bank harus memastikan tersedianya mekanisme penelusuran
(audit trail) yang jelas untuk seluruh transaksi internet banking.
g) Bank harus mengambil langkah-langkah untuk melindungi
kerahasiaan informasi penting pada internet banking. Langkah tersebut harus
sesuai dengan sensitivitas informasi yang dikeluarkan dan/atau disimpan dalam
database.
4. Manajemen Risiko Hukum dan Risiko Reputasi
a) Bank harus memastikan bahwa website bank menyediakan
informasi yang memungkinkan calon nasabah untuk memperoleh informasi yang tepat
mengenai identitas dan status hukum bank sebelum melakukan transaksi melalui
internet banking.
b) Bank harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan
bahwa ketentuan kerahasiaan nasabah diterapkan sesuai dengan yang berlaku di
negara tempat kedudukan bank menyediakan produk dan jasa internet banking.
c) Bank harus memiliki prosedur perencanaan darurat dan
berkesinambungan usaha yang efektif untuk memastikan tersedianya sistem dan
jasa internet banking.
d) Bank harus mengembangkan rencana penanganan yang memadai
untuk mengelola, mengatasi dan meminimalkan permasalahan yang timbul dari
kejadian yang tidak diperkirakan (internal dan eksternal) yang dapat menghambat
penyediaan sistem dan jasa internet banking.
e) Dalam hal sistem penyelenggaraan internet banking
dilakukan oleh pihak ketiga (outsourcing), bank harus menetapkan dan menerapkan
prosedur pengawasan dan due dilligence yang menyeluruh dan berkelanjutan untuk
mengelola hubungan bank dengan pihak ketiga tersebut.
5. Penerapan prinsip Know Your Customer (KYC)
Upaya lainnya yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam
rangka meminimalisir terjadinya tindak kejahatan internet fraud adalah
pengaturan kewajiban bagi bank untuk menerapkan prinsip mengenal nasabah atau
yang lebih dikenal dengan prinsip Know Your Customer (KYC). Pengaturan tentang
penerapan prinsip KYC terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001
tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 3/23/PBI/2001 dan
Surat Edaran Bank Indonesia 6/37/DPNP tanggal 10 September 2004 tentang
Penilaian dan Pengenaan Sanksi atas Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dan
Kewajiban Lain Terkait dengan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang.
Pokok-pokok pengaturannya antara lain sbb:
a. Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan
bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah
termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan.
b. Dalam menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah, bank wajib:
1) Menetapkan kebijakan penerimaan nasabah.
2) Menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi
nasabah.
3) Menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap
rekening dan transaksi nasabah.
4) Menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang
berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
c. Terkait dengan kebijakan penerimaan dan identifikasi
nasabah, maka:
1) Sebelum melakukan hubungan usaha dengan nasabah, bank
wajib meminta informasi mengenai identitas calon nasabah, maksud dan tujuan
hubungan usaha yang akan dilakukan calon nasabah dengan bank, informasi lain
yang memungkinkan bank untuk dapat mengetahui profil calon nasabah dan
identitas pihak lain dalam hal calon nasabah bertindak untuk dan atas nama
pihak lain. Identitas calon nasabah tersebut harus dibuktikan dengan
dokumen-dokumen pendukung dan bank wajib meneliti kebenaran dokumen-dokumen
pendukung tersebut.
2) Bagi bank yang telah menggunakan media elektronis dalam
pelayanan jasa perbankan wajib melakukan pertemuan dengan calon nasabah
sekurang-kurangnya pada saat pembukaan rekening.
d. Dalam hal calon nasabah bertindak sebagai perantara dan
atau kuasa pihak lain (beneficial owner) untuk membuka rekening, bank wajib
memperoleh dokumen-dokumen pendukung identitas dan hubungan hukum, penugasan
serta kewenangan bertindak sebagai perantara dan atau kuasa pihak lain. Dalam
hal bank meragukan atau tidak dapat meyakini identitas beneficial owner, bank
wajib menolak untuk melakukan hubungan usaha dengan calon nasabah.e. Bank wajib
menatausahakan dokumen-dokumen pendukung nasabah dalam jangka waktu
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sejak nasabah menutup rekening pada bank.
Bank juga wajib melakukan pengkinian data dalam hal terdapat perubahan terhadap
dokumen-dokumen pendukung tersebut.
f. Bank wajib memiliki sistem informasi yang dapat
mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif
mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh nasabah bank.
g. Bank wajib memelihara profil nasabah yang
sekurang-kurangnya meliputi informasi mengenai pekerjaan atau bidang usaha,
jumlah penghasilan, rekening lain yang dimiliki, aktivasi transaksi normal dan
tujuan pembukaan rekening.
h. Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur manajemen
risiko yang sekurang-kurangnya mencakup:
1) Pengawasan oleh pengurus bank (management oversight).
2) Pendelegasian wewenang.
3) Pemisahan tugas.
4) Sistem pengawasan intern termasuk audit intern.
5) Program pelatihan karyawan mengenai penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah.
i. Bank Indonesia melakukan penilaian terhadap pelaksanaan
Prinsip Mengenal Nasabah/KYC dan Undang- Undang Tindak Pidana Pencucian Uang
(UU TPPU) dimana penilaian tersebut dilakukan secara kualitatif atas
faktor-faktor manajemen risiko penerapan KYC.
6. Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu dan
Transparansi Produk Bank
Regulasi lainnya yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia
terkait dengan upaya meminimalisir internet fraud adalah regulasi mengenai
penyelenggaraan kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK),
mengingat APMK merupakan alat atau media yang sering digunakan dalam kejahatan
internet fraud. Ketentuan mengenai penyelenggaraan APMK terdapat dalam Peraturan
Bank Indonesia No. 6/30/PBI/2004 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dan Surat Edaran Bank Indonesia No.
7/60/DASP, tanggal 30 Desember 2005 tentang Prinsip Perlindungan Nasabah dan
Kehati-hatian, serta Peningkatan Keamanan Dalam Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu.
Adapun pokok-pokok pengaturannya antara lain sbb:
a). Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) adalah
alat pembayaran yang berupa kartu kredit, kartu ATM, kartu debet, kartu
prabayar dan atau yang dipersamakan dengan hal tersebut.
b). Bagi bank dan lembaga bukan bank yang merupakan
penyelenggara APMK harus menyerahkan bukti penerapan manajemen risiko.
c). Penerbit APMK wajib meningkatkan keamanan APMK untuk
meminimalkan tingkat kejahatan terkait dengan APMK dan sekaligus untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap APMK.
d). Peningkatan keamanan tersebut dilakukan terhadap seluruh
infrastruktur teknologi yang terkait dengan penyelenggaraan APMK, yang meliputi
pengamanan pada kartu dan pengamanan pada seluruh sistem yang digunakan untuk
memproses transaksi APMK termasuk penggunaan chip pada kartu kredit. Selain
itu, Bank Indonesia juga mengeluarkan regulasi mengenai transparansi informasi
produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah, sebagai upaya untuk
mengedukasi nasabah terhadap produk bank dan meningkatkan kewaspadaan nasabah
terhadap berbagai risiko termasuk internet fraud. Ketentuan tersebut terdapat
dalam Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/PBI/2005 Jo SE No. 7/25/DPNP tentang
Transparansi Informasi Produk Bank Dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah.
Pokok-pokok pengaturan dalam ketentuan tersebut antara lain
sbb:
a). Bank wajib menerapkan transparansi informasi mengenai
Produk Bank dan penggunan Data Pribadi Nasabah.
b). Bank dilarang memberikan informasi yang menyesatkan
(mislead) dan atau tidak etis (misconduct).
c). Informasi Produk Bank tersebut, minimal meliputi: nama
produk, jenis produk, manfaat dan resiko produk, persyaratan dan tatacara
penggunaan produk, biaya-biaya yang melekat pada produk, perhitungan bunga atau
bagi hasil dan margin keuntungan, jangka waktu berlakunya Produk Bank,
penerbitan (issuer/originator) Produk Bank.
d). Bank wajib memberikan informasi kepada nasabah mengenai
manfaat dan risiko pada setiap produk bank, dimana bank harus menjelaskan
secara terinci setiap manfaat yang diperoleh nasabah dari suatu produk bank dan
potensi risiko yang dihadapi oleh nasabah dalam masa penggunaan produk bank.
Rahasia Bank
Salah satu hal penting dalam memproses pelaku internet fraud
adalah pembukaan rahasia bank untuk memperoleh keterangan simpanan milik pelaku
internet fraud tersebut, dimana keterangan tersebut dapat dijadikan salah bukti
oleh aparat penegak hukum untuk keperluan persidangan pidana.
Ketentuan mengenai rahasia bank diatur dalam UU Perbankan
dan kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia No.
2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin
Tertulis Membuka Rahasia Bank. Berdasarkan ketentuan tersebut, pada prinsipnya
setiap Bank dan afiliasinya wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya (Rahasia Bank). Sedangkan keterangan mengenai nasabah
selain sebagai nasabah penyimpan, tidak wajib dirahasiakan.
Terhadap Rahasia Bank dapat disimpangi dengan izin terlebih
dahulu dari pimpinan Bank Indonesia untuk kepentingan perpajakan, penyelesaian
piutang bank oleh BUPN/PUPLN dan kepentingan peradilan perkara pidana dimana
status nasabah penyimpan yang akan dibuka rahasia bank harus tersangka atau
terdakwa. Terhadap Rahasia Bank dapat juga disimpangi tanpa izin terlebih
dahulu dari pimpinan Bank Indonesia yakni untuk kepentingan perkara perdata
antara bank dengan nasabahnya, tukar menukar informasi antar bank, atas
permintaan/persetujuan dari nasabah dan untuk kepentingan ahli waris yang sah.
Dalam hal diperlukan pemblokiran dan atau penyitaan simpanan
atas nama seorang nasabah penyimpan yang telah dinyatakan sebagai tersangka
atau terdakwa oleh pihak aparat penegak hukum, berdasarkan ketentuan Pasal 12
ayat (1) PBI Rahasia Bank, dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku tanpa memerlukan izin terlebih dahulu dari
pimpinan Bank Indonesia.
Namun demikian untuk memperoleh keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanan nasabah yang diblokir dan atau disita pada bank, menurut
Pasal 12 ayat (2) PBI Rahasia Bank, tetap berlaku ketentuan mengenai pembukaan
Rahasia Bank dimana memerlukan izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank
Indonesia.
Urgensi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang tentang Transfer Dana (UU Transfer Dana)
Payung hukum setingkat undang-undang yang khusus mengatur
tentang kegiatan di dunia maya hingga saat ini belum ada di Indonesia. Dalam
hal terjadi tindak pidana kejahatan di dunia maya, untuk penegakan hukumnya
masih menggunakan ketentuan-ketentuan yang ada di KUHP yakni mengenai pemalsuan
surat (Pasal 263), pencurian (Pasal 362), penggelapan (Pasal 372), penipuan
(Pasal 378), penadahan (Pasal 480), serta ketentuan yang terdapat dalam
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang tentang
Merek.
Ketentuan-ketentuan tersebut tentu saja belum bisa mengakomodir
kejahatan-kejahatan di dunia maya (cybercrime) yang modus operandinya terus
berkembang. Selain itu dalam penanganan kasusnya seringkali menghadapi kendala
antara lain dalam hal pembuktian dengan menggunakan alat bukti elektronik dan
ancaman sanksi yang terdapat dalam KUHP tidak sebanding dengan kerugian yang
diderita oleh korban, misalnya pada kasus internet fraud, salah satu pasal yang
dapat digunakan adalah Pasal 378 KUHP (penipuan) yang ancaman hukumannya
maksimum 4 (empat) tahun penjara sedangkan kerugian yang mungkin diderita dapat
mencapai miliaran rupiah.
Terkait dengan hal-hal tersebut di atas, kehadiran
Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan
Undang-Undang tentang Transfer Dana (UU Transfer Dana) diharapkan dapat menjadi
faktor penting dalam upaya mencegah dan memberantas cybercrimes serta dapat
memberikan deterrent effect kepada para pelaku cybercrimes sehingga akan
berfikir jauh untuk melakukan aksinya. Selain itu hal yang penting lainnya
adalah pemahaman yang sama dalam memandang cybercrimes dari aparat penegak
hukum termasuk di dalamnya law enforcement.
Adapun Rancangan Undang-Undang (RUU) ITE dan RUU Transfer
Dana saat ini telah diajukan oleh pemerintah dan sedang dilakukan pembahasan di
DPR RI, dimana dalam hal ini Bank Indonesia terlibat sebagai narasumber
khususnya untuk materi yang terkait dengan informasi dan transaksi keuangan.
Referensi :